Minggu, 27 Februari 2011

Sejarah Perhimpunan Indonesia

Berlakunya Politik Etis pada awal aba ke-20 telah membuka Jalan bagi para orang Indonesia memperleh Pendidikan. Pada saat itu para pelajar Indonesia yang berada di Belanda membuat perkumpulan bernama Indische Vereeniging. Indische Vereeniging merupakan organisasi cikal bakal Perhimpunan Indonesia. Proses pergantian nama Indische Vereeniging tidak berlangsung dengan cepat. Pergantian nama ini juga memiliki makna mengenai tujuan dari organisasi ini. Pergantian nama ini didahului faktor dari nusantara dan faktor dari keadaan dunia. Dari nusantara faktornya munculnya organisasi Indische Partij yang langsung bergerak di bidang politik . Sementara perang dunia ke-1 merupakan faktor dunia yang ikut mempengaruhi organisasi ini. Indische Partij memilki pengaruh yang besar untuk organisasi ini

Gerakan Indische Partij yang mengekrtitik sangat pedas pemerintah kolonial saat itu membut organisasi ini dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpinnya dibuang ke Belanda pada 1913. Dengan datangnya tiga tokoh Indische Partij yaitu dr. Cipto Mangunkusumo, dr. E.F.E Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, maka mempunyai pengaruh kuat terhadap pemikiran para pelajar Indonesia di negeri Belanda. Para pelajar Indonesia di Indische Veerniging terdorong rasa nasionalismenya walaupun pada mulanya mereka tidak berfikir politik. Tujuan organisasi ini pun berbubah mengarah terbentuknya nasional Indonesia. Para pelajar dan orang-orang Indonesia di negeri Belanda merasa satu keluarga , satu bangsa dan satu tanah air. Untuk menambah semangat nasionalisme nama perkumpulan ini pun diganti menjadi Indonesische Veerniging. Baru pada 1925 perkumpulan ini diganti nama Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia.

Perhimpunan Indonesia ketika masih menggunakan nama Belanda sudah melakukan pergerakan kebangsaan . Gerakan yang dillakukan oleh para pelajar ini juga ditempuh dengan menerbitkan sebuah majalah yang bernama Hindia Poetra. Perubahan tujuan dari gerakan Indische Veerniging juga ditandai dengan perubahan nama menjadi Indonesische Vereeniging. Pergantian nama ini diartikan dengan perasaan bersatu antara orang-orang Indonesia. Para mahasiswa ini juga giat berdiskusi, mereka melakukan diskusi dirumah anggota-anggota perkumpulan yang memiliki keluarga di Belanda. Selain berdiskusi dengan sesama anggota para anggota perkumpulan ini juga berdiskusi dengan orang Belanda. Diskusi atau debat ini seperti antara Arnold Mononutu dengan orang Belanda yang menjabat sekjen “ Association des slaves de l’academic du droit international de la have” di Den Haag. Selain di Belanda perjuangan P.I juga dilakukan di nusantara yaitu dengan mengeluarkan buku Gedenkboek 1908-1923 Indonesische Vereeniging. Buku ini berisi artikel-artikel dari tokoh-tokoh P.I sebanyak tiga belas artikel didalamnya.
Setelah berganti nama pada 1925 Indonesische Veerniging menjadi Perrhimpunan Indonesia gerakan melawan penjajah pun semakin gencar. Pada 1925 ini juga P.I mengeluarkan Manifesto Politik. Pergantian nama perkumpulan ini juga suatu bentuk perlawanan dari para pelajar tersebut. Para pelajar ini mengganti nama perkumpulan untuk menghilangkan sifat kolonial yang diganti dengan nama-nama yang bersifat nasional. Nama P. I ini resmi digunkan pada tanggal 8 februari 1925. Selain merubah nama perkumpulan para anggota P.I juga merubah majalah yang mereka terbitkan dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Selain itu untuk menambah kesan kebangsaan ditetapkan pula para anggota P.I harus menggunakan kopiah. Hal ini sebagai penujuk identitas P.I . Selain itu perubahan juga terjadi pada nama-nama anggota yang berbau feodal atau kebangsawanan. Nama-nama anggota P.I yang ada nama kebangsawanannya sudah tidak dipegunakan lagi dalam lingkungan teman dan masyarakat. Contohnya seperti salah satu nama tokoh P.I yaitu Nazir Datuk Pamuntjak kemudian disebut Nazir Pamuntjak saja.
Selain itu pemakaian lambang merah-putih dengan gambar kepala kerbau dinyatakan resmi sebagai lambang organisasi Perhimpunan Indonesia. Selain itu pada 1925 juga muncul manifesto 1925 di dalam majalah P.I yaitu Indonesia Merdeka. Semenjak berganti nama Perhimpunan Indonesia organisasi ini semakin giat usaha menyebarluaskan tentang proses perkembangan pergerakan Perhimpunan Indonesia. Usaha ini dilakukan oleh Ali Sastroamidjojo dengan secara aktif mengisi majalah Indonesia Merdeka yang beredar di Belanda . Selain beredar di Belanda majalah ini juga berusaha di edarkan di Nusantara. Pengiriman ke nusantara dilakukan melalui penyelundupan dengan menyobek halaman majalah Indonesia Merdeka kemudian ditempelkan pada halaman-halaman majalah Belanda yang masuk ke Indonesia yang tidak dilarang untuk dikirim ke Indonesia. Ali mengirimkan majalah-majalah Belanda itu kepada adiknya Usman untuk disebarkan.
Perhimpunan Indonesia dalam gerakan politiknya juga berbicara dalam forum-forum Internasional seperti Mohammad Hatta yang berpidato dalam Congres democratique Internationale pour la paix di Bierville dekat Paris pada agustus 1926. Dalam Kongres liga demokrasi Perdamaian Internasional ini Moh Hatta jelas menuntut kemerdekaan Indonesia selain itu dalam pidatonya Hatta juga tidak menggunakan nama Hindia Belanda tapi secara jelas menggunakan nama Indonesia. Selain di Prancis Hatta juga berpidato dalam Liga anti-Imprialisme dan penindasan kolonial yang diselanggrakan di Brussel , Belgia pada 10-15 Februari 1927. Dalam forum ini juga Hatta dengan jelas mengemukakan soal mengenai perjuangan kemerdekaan nasional bangsa Indonesia tetapi juga penindasan pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia setelah terjadinya pemberontakan PKI pada 1926.
Dalam kongres ini hadir juga Semaun yang melarikan diri dari Indonesia karena pemberontakan PKI di Hindia Belanda. Semaun hadir pada kongres ini karena sebelumnya secara diam-diam pada desember 1926 melakukan pertemuan dengan Hatta . Pertemuan ini merupakan pelampiasan kesedihan dari Semaun karena akibat kegagalan pemberontakan PKI. Perjuangan P.I di forum-forum Internasional ini telah berhasil dengan baik. Hal ini karena selama menjajah Nusantara, Belanda selalu menyajikan kepada dunia Internasional, bahwa politik penjajahannya di Nusantara merupakan yang paling baik dan perikemanusiaan. Namun oleh P.I dibeberkan fakta bahwa penjajahan Belanda di Nusantara sangat tidak manusiawi. Gerakan P.I yang sangat radikal ini membuat organisasi ini dianggap membahayakan bagi pemerintah Belanda. Perhimpunan Indonesia telah mencapai puncak pada masa organisasinya puncak organisasi ini berada dibawah tangan kepemimpinan Mohammad Hatta. Seperti yang di jelaskan di atas P.I setelah 1925 makin aktif baik melalui majalah dan forum-forum Internasional. 

Gerakan yang dianggap radikal dari P.I membuat pemerintah Belanda akhirnya menangkap tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia . Gerakan politik P.I ini telah membuat keresahan di pihak pemerintah kolonial. Penangkapan pun dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap empat tokoh P.I antara lain M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul Majid Djojonegoro dan Ali Sastroamijoyo ditangkap dan diadili. Dalam proses peradilan para anggota P.I ini dibantu oleh pengacara Belanda yang merupakan bekas anggota partai sosialis Belanda. Penangkapan tokoh-tokoh P.I ini sangat besar dampaknya yaitu bagi P.I sendiri dan bagi para Mahasiswa yang selama ini yang ada di Belanda. Penangkapan ini menjadi halangan bagi para mahasiswa Indonesia yang saat itu sedang belajar di Belanda karena mereka dapat tekanan dari pemerintah Belanda.
Para mahasiswa ini terutama mengalami kesulitan mengenai pendanaan contohnya salah satu anggota P.I Arnold Manomutu yang kesulitan dana dari orang tuanya karena ditekan oleh pemerintah Belanda. Penangkapan tokoh P.I ini bagi organisasi menjadi runtuhnya gerakan mereka di Belanda. Belanda telah mencap P.I sebagai gerakan perpanjangan PKI karena pertemuan antara Hatta dan Semaun. Selain itu penangkapan ini juga membuat runtuhnya gerakan P.I di dunia Internasional. Setelah para tokoh P.I diadili dan dinyatakan bebas pada 22 Maret 1928 gerakan P.I pun sudah tidak dilakukan lagi di Belanda. Gerakan P.I mulai berpindah ke Indonesia, hal ini karena banyak mahasiswa anggota P.I pulang ke Indonesia. Di Nusantara gerakan P.I telah melebur dalam beberapa organisasi pergerakan hal ini karena pengawasan yang ketat dari pemerintah Hindia Belanda. Pergerakan na
sional itu seperti dalam Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) (1926) Partai Nasional Indonesia (1927) dan Jong Indonesia (1928).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar